Program Breeding Masih Merupakan Konsep Asing Dalam Dunia Peternakan di Indonesia

By. Nuzul Widyas (Fapet UNS)

Sudah hampir 76 tahun Indonesia merdeka, namun hingga saat ini ketergantungan Indonesia terhadap negara lain untuk mencukupi kebutuhan akan hewan ternak dan/atau produknya masih sangat tinggi. Akar dari ketergantungan ini adalah ketidakmampuan kita untuk meningkatkan populasi ternak guna menghasilkan final stock dan kurang optimalnya performan ternak dalam rangka mencukupi kebutuhan konsumsi nasional. Berbagai program diluncurkan oleh pemerintah namun titik terang tak kunjung terlihat. Penulis amati dari sekian banyak program dan diskusi, topik diskusi para stakeholder di sektor peternakan tentang breeding sangat terbatas dan lebih berorientasi pada aspek reproduksi. Hanya beberapa hal yang menjadi kata kunci: pelarangan menyembelih ternak betina, peningkatan populasi, inseminasi buatan dan crossbreeding. Aspek lain yang sebetulnya sangat strategis seperti strategi penyediaan betina produktif sebagai penghasil final stok, karakteristik ternak yang diinginkan sebagai output dari program tersebut dan mekanisme kontrol, evaluasi serta improvisasi dari program yang dibuat hampir tidak pernah disinggung secara spesifik.

1. Mendefinisikan sistem produksi

Mendefinisikan system produksi secara akurat adalah langkah awal yang krusial dalam menentukan kesuksesan sebuah program breeding. Jika ilmu peternakan mempelajari masalah ternak, maka sistem produksi adalah memandang peternakan, atau farm secara keseluruhan. Sehingga pembahasan tentang sistem produksi meliputi ternak itu sendiri, sumberdaya di sekitar peternakan (baik alam maupun manusia), faktor lingkungan, hingga faktor sosial-ekonomis dan kultural.

Menurut Widi (2015), salah satu aspek yang menyebabkan tidak optimalnya kebijakan-kebijakan pemerintah terkait breeding sapi potong adalah adanya gap antara persepsi dan orientasi beternak antara pemerintah dengan peternak. Orientasi pemerintah adalah optimasi dan efisiensi produksi, sedangkan peternak sebagai pelaku di lapangan memiliki pemikiran yang lain. Ibarat pil sakit kepala diberikan kepada pasien yang menderita sakit perut; hingga akhirnya kebijakan-kebijakan pemerintah dengan niat baik tersebut hanya berakhir sebagai laporan di meja para pimpinan tanpa hasil nyata di lapangan.

Contoh gambaran kasus: Pemerintah ingin menjadikan Kab. Blora sebagai salah satu daerah percontohan IB dengan sapi Belgian Blue. Kab. Blora memang memiliki populasi sapi yang tinggi; namun kabupaten ini merupakan salah satu daerah termiskin di Jawa Tengah dengan kemampuan curahan investasi yang terbatas. Dengan mempertimbangkan gap tersebut, apakah sekiranya kebijakan pemerintah tersebut tepat sasaran?

2. Mendefinisikan tujuan dan arah breeding

Suatu program semestinya memiliki arah dan tujuan; arah dan tujuan breeding harus diformulasikan untuk menjawab dua pertanyaan berikut:

  1. Apakah yang dimaksud dengan ternak terbaik?
  2. Bagaimana memilih ternak terbaik sebagai tetua untuk generasi selanjutnya?

Contoh sederhana: pada sebuah program breeding ayam lokal berbasis pemberdayaan komunitas peternak. Pertama tentunya dilihat dulu system produksinya; kemudian dari definisi yang akurat itu akan didapatkan arah tujuan yang tepat dan feasible. Tujuan dalam program breeding ini adalah menghasilkan populasi ayam local dengan produksi telur yang baik. Arah dari program breeding adalah meningkatkan produksi telur dari generasi ke generasi. Sehingga definisi ternak terbaik disini adalah ayam dengan produksi telur yang tinggi. Ayam-ayam dengan produksi telur yang tinggi ini akan dipilih sebagai tetua untuk generasi berikutnya yang diharapkan akan mengalami peningkatan produktifitas. Karena generasi tetua dan keturunannya jelas teridentifikasi, maka peningkatan (atau bahkan penurunan) produktifitas antar generasi bisa diukur untuk menentukan sukses tidaknya suatu program breeding.

3. Mengumpulkan informasi yang dibutuhkan

Informasi yang dibutuhkan terkait program breeding disini meliputi tiga hal; yaitu: fenotip, silsilah dan genotip. Fenotip adalah performan dari individu-individu yang akan dijadikan kandidat tetua bagi generasi berikutnya; tentunya sesuai dengan tujuan breedingnya. Misalnya untuk ayam petelur, sifat yang diukur fenotipnya adalah produksi telur dan kemampuan reproduksi ayam betina; sedangkan untuk sapi potong adalah ADG dan efisiensi pakan. Catatan silsilah sangatlah penting dalam program breeding; karena akan menentukan keluarga mana yang memiliki performan terbaik dan layak dipertahankan sebagai breeding stock. Sangat disayangkan bahwa informasi ini sering diabaikan baik oleh peternak pembibit maupun institusi2 pemerintah terkait pembibitan ternak.

Informasi berikutnya adalah genotype yang berupa data DNA dari ternak-ternak tersebut. Informasi ini juga sangat penting karena dapat mempercepat program peningkatan mutu genetis suatu populasi ternak dengan cara melakukan seleksi berdasarkan data genotype. Namun data ini masih tergolong mahal untuk dibuat.

4. Menentukan kriteria seleksi

Yang dimaksud kriteria seleksi disini adalah parameter yang menjadi dasar untuk melakukan seleksi (memilih ternak-ternak terbaik sebagai tetua untuk generasi berikutnya). Dalam bukunya, Hardjosubroto (1994), mengatakan bahwa seleksi dapat dilakukan berdasarkan fenotip atau berdasarkan nilai pemuliaan (NP). Dimana seleksi berdasarkan NP jauh lebih akurat karena di dalamnya melibatkan estimasi tentang parameter genetis dan pola pewarisan sifat yang dimaksud. Akurasi dari NP juga bervariasi, tergantung dari seberapa detail catatan silsilah yang dimiliki. Semakin lengkap silsilahnya (Optimal 4-6 generasi), maka semakin akurat pula seleksi yang akan dilaksanakan.

5. Melaksanakan seleksi dan perkawinan

Setelah kriteria seleksi ditentukan, langkah berikutnya adalah melakukan proses seleksi itu sendiri dengan memisahkan individu-individu terpilih dari populasi keseluruhan. Kemudian tergantung dari spesies ternak, tujuan breeding dan interval generasinya, perlu dirancang skema perkawinan yang sesuai. Skema ini sangat penting karena nantinya akan menentukan efisiensi dari program breeding serta menentukan masa depan dari populasi terseleksi terkait aspek-aspek seperti inbreeding.

Seleksi dan perkawinan adalah dua kegiatan utama dalam breeding. Setelah program-program ini direncanakan dan dilaksanakan dengan baik, maka akan dihasilkan populasi unggul yang siap menjadi sumber bibit. Dengan kata lain, produk dari proses seleksi ini bukanlah ternak untuk final stock, akan tetapi untuk menghasilkan ternak unggul sebagai breeding stock.

6. Diseminasi

Peningkatan kualitas atau mutu genetic secara bertahap ditentukan dari dihasilkannya populasi bibit unggul yang sudah tercapai pada langkah nomor lima. Peningkatan ini harus didiseminasikan atau disebarkan pada populasi multiplier. Populasi multiplier adalah sekelompok ternak (biasanya indukan) yang digunakan untuk menghasilkan final stock. Contoh hkonkretnya adalah sapi-sapi betina milik peternak rakyat. Diharapkan populasi multiplier akan dikawinkan dengan pejantan unggul dari breeding stock (misal dengan IB atau teknologi reproduksi yang lain) sehingga peningkatan produktifitas bertahap dari generasi ke generasi juga dapat tercapai pada final stock atau ternak yg digunakan untuk menghasilkan produk konsumsi.

7. Evaluasi

Seluruh Langkah dan tahapan pada siklus program breeding ini diselenggarakan secara terkontrol dan terukur sehingga segala dinamika yang terjadi pada populasi ternak dari generasi ke generasi dapat dihitung. Salah satu manfaat system seperti ini adalah kesuksesan (atau kekurang-suksesan) suatu program dapat dievaluasi. Dengan evaluasi memungkinkan adanya identifikasi permasalahan yang terjadi pada saat pelaksanaan program sehingga masalah tersebut bisa diatasi. Evaluasi berkala juga diperlukan karena kondisi lingkungan selalu berubah, sehingga program yang ada dapat selalu disesuaikan dengan perubahan kondisi. Hasil evaluasi ini akan menentukan definisi dari system produksi untuk siklus program breeding berikutnya.

Itulah tadi uraian singkat tentang konsep program breeding. Meskipun terdapat modifikasi dan perbedaan siklus di beberapa negara, namun intinya tetaplah sama. Siklus ini sudah diadopsi oleh berbagai negara maupun breeding company dengan berbagai komoditas.