Mitigasi dan Penanganan Ternak dalam Kondisi Bencana Alam

by. Sigit Prastowo dan Epi Taufik

Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di Pacific Ring of Fire. Kondisi ini memberikan berkah kesuburan tanah, keberagaman vegetasi dan melimpahnya bahan tambang atau mineral, namun secara alamiah harus siap sedia menerima bencana alam seperti gunung meletus, gempa bumi, banjir, tsunami, likuifaksi, ataupun tanah longsor. Pemerintah telah berusaha membuat lembaga-lembaga terkait kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana alam dari pusat hingga daerah. Lembaga tersebut antara lain BASARNAS dan BNPB hingga BPBD di level daerah. Serangkaian standard operation procedure (SOP) telah banyak dikeluarkan oleh lembaga-lembaga tersebut, namun belum ada lembaga-lembaga, maupun kementrian/lembaga terkait lainya yang mengeluarkan SOP terkait penanganan ternak (kecil/besar; hidup/mati) pada saat terjadi bencana alam.

Penanganan yang diprioritaskan adalah penduduk atau manusia, sedangkan ternak belum ada hal baku yang dilakukan. Jikapun toh ada, menurut pengalaman penanganan bencana, merupakan bentuk kebutuhan warga atau pemilik ternak untuk menyelamatkan ternak-ternak mereka. Dalam konteks Indonesia saat ini, belum ada SOP khusus terkait penanganan ternak (hidup/mati) disaat dan setelah bencana alam terjadi, yang secara khusus dikeluarkan oleh misalnya, Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan-Kementrian Pertanian. Beberapa kebijakan di lapangan ketika terjadi bencana, biasanya merupakan inisiatif kelompok peternak, relawan dan pemerintah daerah setempat yang terdampak.

Di beberapa negara-negara maju, telah ada standard mitigasi bencana pada ternak atau hewan berupa panduan penanganan hewan sesuai dengan bentuk bencana yang terjadi. Beberapa dokumen yang dapat penulis temukan diantaranya adalah Caring for Livestock During and After Disaster yang dikeluarkan oleh Colorado State University America, Caring for Animals in Natural Disasters dari Australia, Emergency Response to Natural Disasters for Livestock Facilities, dan FAO juga mengeluarkan panduan yang terangkum dalam FAO in emergencies respond. Kesemua panduan tersebut memiliki satu benang merah yaitu menyelamatkan hewan/ternak untuk keberlanjutan pemanfaatannya demi kepentingan manusia.

Secara geografis, di beberapa tempat dipulau jawa, ternak diusahakan pada area-area yang cukup tinggi diatas permukaan laut. Lebih dari itu biasanya mereka berkumpul menjadi sebuah klaster atau kawasan peternakan dan dekat dengan lahan pertanian yang subur sebagai sumber utama penopang pakan. Tipikal lokasi secara geografis seperti ini sebenarnya memiliki kelemahan sekaligus keuntungan dalam konteks kesiapsiagaan menghadapi bencana, termasuk setelah bencana terjadi. Dengan kondisi yang demikian, maka tidak semua bentuk bencana alam dapat terjadi pada lahan tersebut, yang paling memungkinkan adalah terjadinya gunung meletus, banjir dan tanah longsor. Masih dapat diingat dengan jelas pada bencana alam gunung Merapi yang meletus tahun 2010, mengakibatkan matinya ribuan ternak sapi sebagai dampaknya. Hal ini diiringi dengan kejadian penduduk yang tidak mau mengungsi karena alasan menjaga ternak. Dan sekarang, saat tulisan ini dibuat, Merapi kembali berada pada status Siaga.

Tentu saja dengan kondisi spesifik di Indonesia, tidak dengan mudah mengaplikasikan panduan-panduan penanganan ternak yang sudah disebutkan diatas. Tetapi, pada tulisan ini, kami akan menyampaikan beberapa hal yang dapat disarikan dari panduan penanganan ternak pada masa bencana yang berjudul Livestock Emergency Guidelines and Standards (LEGS). Buku ini berisi pedoman dan standar untuk mendesain, mengimplementasikan dan mengevaluasi penanganan ternak pada wilayah penduduk yang terkena bencana. Beberapa bagian yang relevan dengan kondisi Indonesia, kami sampaikan untuk paling tidak bisa menjadi pengetahuan bersama yang kemungkinan bisa diimplementasikan oleh para Sarjana Peternakan dalam rangka memberikan bantuan dalam penanganan ternak di daerah terdampak bencana alam.

Ternak, seperti diketahui, memiliki fungsi khusus dimasyarakat Indonesia diantaranya sebagai sumber penghasilan, mata pencaharian, sumber pupuk, kesenangan dan juga status sosial. Bahkan, di beberapa tempat, posisi ternak yang masuk kategori kesayangan “klangenan” mendapatkan tempat tersendiri sebagai anggota keluarga. Terlebih salah satu fungsi ternak sebagai harta kekayaan “rojo koyo” dan sumber kehidupan yang pengelolaan serta aktivitasnya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Meninggalkan ternak dikandang tanpa pengawasan, selama pemilik mengungsi, memberikan efek psikologis sendiri bagi penduduk yang berada pada daerah rawan bencana.

Peternak, akan rela menghadang bahaya untuk menjaga ternaknya, atau kembali pulang secara periodik, meski belum kondisi belum aman, untuk sekedar menengok dan atau memberikan pakan/air kepada ternaknya. Kondisi inilah yang terkadang menjadi salah satu faktor penghambat dalam proses evakuasi penduduk pada kondisi bencana. Sehingga salah satu solusi untuk menyelamatkan penduduk dari bencana adalah juga dengan menyelamatkan ternaknya dengan membangun shelter ternak berdekatan dengan tempat penggungsian. Hal ini akan memberikan rasa aman pada pemilik ternak, mengurangi stress, dan bahkan memberikan aktivitas merawat ternak untuk mengurangi kebosanan karena faktor mengungsi. Selain itu, ternak yang berfungsi sebagai mesin produksi, seperti susu, menyelamatkan populasi ternak berarti menjaga kontinuitas produksi susu secara tidak langsung.

Prinsip Umum Penanganan Ternak dalam Kondisi Bencana
Sebagaimana diketahui, ternak memiliki fungsi khusus bagi masyarakat, terutama petani. Tanpa adanya campur tangan manusia, kehidupan ternak tidak dapat berlangsung. Seluruh faktor produksi untuk ternak, seperti pakan, air, perkawinan dan Kesehatan, semua disediakan oleh peternak. Dalam kondisi demikian, posisi ternak menjadi hal yang paling rawan keberlangsungannya ketika kondisi bencana terjadi. Jelas, rantai logistik seperti pakan, akan terputus sementara waktu ketika terjadi bencana. Hal ini menjadi alasan utama perlunya penanganan ternak secara menyeluruh baik kondisi bencana maupun tidak. Pada intinya, penanganan ternak selama bencana dan atau sesudahnya adalah mempertahankan populasi untuk mencegah hilangnya aset ekonomi peternak, sekaligus sumber daya genetik.

Prinsip umum selanjutnya adalah ada tidaknya panduan di negara atau tempat kejadian bencana berlangsung. Hal ini menjadi salah satu landasan gerak untuk penanganan ternak baik dari proses pencegahan, evakuasi, perawatan dan pengembalian ke tempat asal serta keberlanjutannya dalam sistem produksi ternak. Dalam hal belum ada panduan secara khusus, maka prinsip yang ada didalam buku LEGS dapat digunakan sebagai panduan, tentu saja disesuaikan dengan wilayah yang ada. Selain itu menangani ternak selama bencana, juga harus memperhatikan prinsip kesejahteraan hewan (5F), yaitu freedom from hunger and thirst (bebas lapar dan haus, dalam arti pakan), freedom form discomfort (bebas dari ketidaknyamanan, dalam arti menyediakan shelter atau kandang yang memadahi), freedom from pain, injury, or disease (Kesehatan ternak), freedom to express normal behaviour (cukup tempat dan fasilitas untuk tingkah laku yang normal), dan freedom from fear and distress (bebas dari rasa takut). Meskipun demikian, pelaksanaan prinsip kesejahteraan hewan tersebut, harus mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada.

Selain penanganan pada saat terjadi bencana, yang tidak kalah penting adalah proses mitigasi untuk mengurangi resiko bencana. Saat ini berkembangnya teknologi pencitraan, sensor dinamis dari aktivitas gunung berapi, dan peralatan deteksi kebencanaan lainnya yang dapat memberikan peringatan awal (early warning system) untuk proses penyiapan dan pelaksanaan evakuasi ternak dari tempat yang akan atau terdampak bencana. Pendataan tempat-tempat rawan bencana, kemudian penyusunan kampanye pemahaman kepada penduduk tentang metode evakuasi dan persiapannya dapat menjadi kurikulum khusus yang diajarkan oleh dinas terkait atau dipersiapkan untuk antisipasi bencana. Dalam hal ini identifikasi ternak, analisis potensi rantai logistik pakan, obat-obatan, shelter dan faktor pendukung lainnya dapat dipetakan untuk sewaktu waktu bisa digunakan.

Terkait dengan bencana, maka perlu dipetakan pula faktor penyebab bencana terjadi, apakah termasuk kategori bencana yang kemunculannya bersifat lambat, cepat atau kompleks. Untuk bencana yang bersifat lambat munculnya, seperti kekeringan, antisipasi penyediaan faktor pendukung pemeliharaan ternak dapat dilakukan secara cukup waktu dengan banyak alternatif. Untuk bencana yang cepat munculnya, semisal gunung meletus, tanah longsor, banjir, gempa bumi dan lainnya, maka diperlukan upaya yang simultan dan cepat untuk dapat menangani dan mengevakuasi ternak yang masih hidup maupun yang mati. Perlu diingat bangkai ternak bisa menjadi masalah kemudian yang berhubungan dengan faktor penyakit yang dapat menganggu kesehatan manusia. Kemudian untuk bencana yang sifatnya komplek, seperti terjadinya perang, konflik, perubahan kondisi politik, keterbatasan infrastuktur dan lainya perlu dipecahkan dalam jangka panjang. Satu hal yang penting dari tipe bencana ini adalah bagaimana rantai logistik penyediaan pakan terutama, dan akses pasar terhadap faktor produski dan produk dapat dipertahankan sebaik mungkin.

Proses Penanganan Selama dan Sesudah Bencana
Dalam hal penangangan ternak selama bencana, hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana populasi ternak dipertahankan. Kemudian daya dukung untuk memastikan ternak terawat dan dalam keadaan sehat juga diperlukan. Supplai pakan, air, penyediaan shelter atau kandang menjadi hal yang sangat krusial pada penanganan awal ternak. Seperti disampaikan sebelumnya, ternak tidak dapat lepas dari peran peternaknya untuk pengelolaan dan perawatan, untuk itu pada saat penanganan bencana, sebisa mungkin pemilik ternak dapat dilibatkan.

Pengaturan populasi seperti menjual ternak, atau memilah ternak yang masih dapat dipertahankan atau tidak, menjadi kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi populasi ternak selama bencana terjadi. Hal yang perlu diintervensi adalah memastikan harga ternak tetap baik tidak rendah karena faktor terpaksa menjual. Program pembelian ternak bisa dilakukan oleh pemerintah dalam rangka membantu peternak. Selain itu, program asuransi ternak untuk memberikan rasa aman bagi peternak pada harta ternaknya, perlu juga untuk disosialisasikan terus menerus.

Di tempat evakuasi, seperti halnya manusia, ternak akan berada pada kondisi yang tidak nyaman, karena faktor perubahan tempat. Ketidak nyamanan ini mungkin akan mempengaruhi pada kesehatan, untuk itu diperlukan dukungan tenaga medis veteriner untuk memberikan obat-obatan yang dirasa perlu. Sumber pakan yang bisa diperoleh dengan jumlah yang cukup dan berkesinambungan perlu dipastikan adanya. Untuk inilah, peran Sarjana Peternakan dalam menghitung kebutuhan pakan, air, luasan tempat dan hal terkait diperlukan untuk ternak yang berada pada tempat penampungan. Bagaimana mendapatkan pakan dan air yang cukup, selama masa tinggal di pengungsian ternak, menjadi hal krusial yang harus dipikirkan dan mendapat bantuan dari banyak pihak.

Faktor perawatan ternak juga menjadi masalah tersendiri selama masa bencana. Melakukan perawatan pada tempat yang bukan biasanya, memerlukan adaptasi baru bagi peternak. Terlebih aktivitas ini telah menjadi rutinitas peternak. Sebisa mungkin, peternak dilibatkan untuk mengawasi, memelihara ternaknya sendiri. Dan secara kelompok bisa diberlakukan giliran jaga atau kegiatan lainya. Pertanyaan sekarang, apabila ternak tersebut berada dalam kondisi produksi yang perlu diambil setiap hari, seperti sapi perah. Maka hal ini bisa dilakukan oleh peternak atau relawan, yang selanjutnya hasil pemerahan dalam bentu susu, bisa dibeli oleh pihak atau dinas terkait untuk selanjutnya diberikan kepada para pengungsi untuk supplemen gizi.

Terakhir, ketika situasi bencana ditempat asal sudah dinyatakan aman, maka yang perlu dievaluasi pertama kali adalah fasilitas pemeliharaan ternak apakah masih dapat digunakan atau tidak. Jika memerlukan perbaikan maka dilakukan perbaikan, tetapi jika sudah tidak layak maka perlu dibangun yang baru. Selanjutnya, memastikan sistem logistik suplay chain kembali normal menjadi salah satu pekerjaan yang harus dilakukan. Ketika semua siap, maka repopulasi ditempat asal ternak dan penduduk dapat dilakukan untuk kemudian seluruh sistem produksi ternak yang sesuai dapat berjalan normal kembali.