Akselerasi Agribisnis 4.0

By. Dian Yuanita Wulandari

Pangan telah menjadi isu yang melanda seluruh dunia sejak 50 tahun yang lalu. Sampai hari ini sekitar 800 juta orang di berbagai belahan dunia masih menderita kelaparan. Laporan World Government Summit terakhir menyebutkan, pada 2050, dunia perlu memproduksi 70 persen lebih banyak pangan dari jumlah yang sudah tersedia saat ini. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat harus diiringi dengan jumlah ketersediaan pangan yang memadai.

Suatu penelitian yang dilakukan oleh Virginia Tech’s College of Agriculture and Life Sciences pada 2019 mencatat rata-rata angka produktivitas pertanian dunia masih sangat rendah yaitu 1,63 persen tiap tahunnya. Menyikapi hal tersebut, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendorong seluruh negara untuk meningkatkan produktivitas pertanian, terutama untuk negara-negara berpenghasilan rendah yang rentan terhadap kerawanan pangan, malnutrisi, dan kemiskinan.

Adopsi industri 4.0 pada sektor agribisnis menawarkan kombinasi yang strategis antara teknologi dengan agribisnis untuk menghasilkan praktik manajemen pertanian paling efisien, peningkatan produktivitas, mendukung pertumbuhan pertanian keberlanjutan, dan memperkuat ketahanan pangan. Keberhasilan adopsi teknologi pertanian di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Australia ditunjukkan dengan peningkatan produktivitas hingga 60 persen, angka yang sangat timpang jika dibandingkan dengan rata-rata produktivitas pertanian dunia yang hanya kurang dari 2 persen.

Pengembangan agribisnis 4.0 juga telah berdampak pada penurunan penggunaan lahan, namun tetap memberikan produktivitas yang tinggi. Seperti yang terjadi di Amerika Serikat; penggunaan lahan turun hingga 41 persen, penggunaan air irigasi juga turun hingga 46 persen, emisi gas rumah kaca menurun 31 persen, dan erosi tanah (ton kehilangan tanah per hektar) menurun sebesar 58 persen. Hal ini mengisyaratkan urgensi pengembangan agribisnis 4.0, khususnya Indonesia yang laju pertumbuhannya relatif tinggi yaitu 2,15 persen per tahun.

Tergantung Sumber Daya

Sektor agribisnis di Indonesia sangat bergantung pada sumber daya, peralatan pertanian yang digunakan, serta tenaga kerja. Meski konteks agribisnis adalah pertanian sebagai bisnis, peralatan yang digunakan mayoritas beroperasi secara manual, lebih banyak menggunakan tenaga manusia dibandingkan automasi. Biaya produksi pertanian Indonesia masih sangat tinggi, bahkan tertinggi di Asia Tenggara.

Pengetahuan petani terhadap keterbaruan teknologi juga masih sangat minim. Selain itu integrasi antar-subsektor masih belum maksimal. Hal menjadi ironis karena pada akhirnya untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, Indonesia masih banyak bertumpu pada impor. Jika transformasi agribisnis tidak segera dilakukan, maka kondisi ketahanan dan ketersediaan pangan Indonesia akan semakin mengkhawatirkan.

Sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan agribisnis 4.0 dan meningkatkan daya saing bangsa, pada 2018 pemerintah Indonesia di bawah Kementerian Pertanian menginisiasi program Smart-farming 4.0. Rencana strategis Kementerian Pertanian 2020 – 2024 juga menggarisbawahi pemanfaatan infrastruktur informasi dan teknologi untuk meningkatkan produktivitas.

Penerapan teknologi baru pada sektor agribisnis yang berhasil tentunya membutuhkan lebih dari sekadar “copy-paste“, terlebih aktivitas agribisnis mencakup aspek on-farm dan off-farm, dari hulu ke hilir. Aspek on-farm yaitu aspek yang berkaitan dengan budidaya pertanian, sedangkan off-farm berkaitan dengan aktivitas pasca panen.

Merujuk pada hal tersebut, langkah awal yang penting untuk dilakukan dalam rangka akselerasi agribisnis 4.0 di Indonesia adalah penyiapan kapabilitas sumber daya manusia baik pada sisi on-farm dan off-farm.

Diperlukan transfer pengetahuan antara pihak yang memiliki pemahaman tentang sistem informasi dan teknologi yang mumpuni dengan sumber daya manusia di sektor agribisnis, khususnya sumber daya manusia di aspek on-farm yaitu petani, yang umumnya masih memiliki pengetahuan terbatas. Petani merupakan “tipping point” atau titik kritis dalam pengembangan agribisnis 4.0.

Berikutnya yaitu penguatan infrastruktur dan konektivitas utamanya di daerah pedesaan sebagai lokus daerah pertanian. Meski penetrasi internet di Indonesia per Januari 2019 telah mencapai 56 persen dari total penduduk, namun umumnya pemanfaatan internet masih sangat terbatas. Selain itu beberapa kasus menunjukkan sekalipun desa sudah dapat menikmati fasilitas internet, kekuatan sinyalnya masih relatif rendah. Padahal implementasi agribisnis 4.0 membutuhkan infrastruktur dan konektivitas yang memadai.

Aspek lain yang sangat krusial dalam pengembangan agribisnis 4.0 yaitu investasi kapital meliputi investasi untuk riset dan pengembangan, pembangunan jaringan internet, pembelian alat digital, hingga pendampingan petani. Dapat dikatakan investasi untuk membangun agribisnis 4.0 tidaklah murah.

Sebagai contoh SoftBank Group Corp yang berinvestasi 200 juta dolar AS di perusahaan rintisan Silicon Valley, Plenty, yang mengatakan telah menemukan cara untuk menanam tanaman di dalam ruangan dengan sangat efisien; CEO IKEA David Chang, yang menginvestasikan 40 juta dolar AS dalam pertanian vertikal AeroFarms; serta KKR yang menginvestasikan 100 juta dolar di perusahaan pertanian iklim kering.

Meski demikian, besarnya investasi kapital yang disertai dengan perencanaan strategis akan memberikan dampak positif yang juga besar mulai dari produktivitas yang meningkat hingga ketersediaan pangan yang terjamin.

Beberapa negara maju saat ini tengah menyiapkan era agribisnis 5.0 yaitu era yang berfokus pada penggunaan robot dan kecerdasan buatan. Jika dibandingkan dengan Indonesia yang baru saja memulai agribisnis 4.0 dalam kurun lima tahun terakhir, maka sudah tentu Indonesia kalah bersaing. Akselerasi agribisnis 4.0 merupakan upaya untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam konteks ketahanan pangan sebab menjadi kekuatan suatu bangsa.